Sudah lama nganggur, rasa
percaya diri untuk melamar kerja lagi terkikis oleh penolakan, ketidakcocokan
karena peraturan jahiliyah yang dibuat atau harapan palsu yang sudah sedemikian
seringnya. Hingga datang sebuah tawaran dari Pak Parmo, seorang dosen yang ku
kenal lewat surat kabar waktu itu, beliau membuka lowongan guru TK tapi
ternyata sekolahnya di Wonogiri, Jawa Tengah, melihat skill suami yang memilki soft skill terapi dengan pengobatan
nabawi, beliau semakin tertarik, saya mengajar TK, suami dibukakan rumah
terapi, begitu harapnya. Kami di ajak melihat pesantrennya di Wonogiri, tiket
pesawat akan di pesan besok dan pemberangkatan lusa. Tak ada yang dirugikan
karena jika tak ttertarik pun, sudah ada tiket pesawat balik ke Jakarta, tentu
di tanggung beliau juga.
Setelah berfikir
matang-matang, suami mengambil keputusan untuk tidak mengambil kesempatan itu,
bukan karena tidak percaya pada pak Parmo, lagi pula tidak ada alasan tidak
memercayai beliau, beberapa kali kami datang ke rumahnya yang megah, dengan
garasi luas, empat mobil dan dua motor terparkir disana, foto-foto dengan latar
belakang menara Eiffel dan liburan mewah lainnya berderet di meja telepon, saya
juga diizinkan memlihat perpustakaannya, melihat diisertasinya, yang terakhir
meski tak ada sangkut pautnya dengan kepercayaan tapi cukup menggambarkan
beliau memang orang yang baik--kami juga di bekali sop durian setiap mau
pulang. Sungguh dimata kami beliau orang hebat. Tapi alasan penolakan suami
karena sudah terjebak dalam kenyamanan pekerjaannya disana, bukan karna gaji
tapi karena orang-orang di dalamnya adalah keluarga bagi kami yang tengah
merantau. Ya, benar-benar keluarga, saya sendiri merasa suami amat di sayang
disana, tak terbilang apa yang sudah mereka berikan untuk membantu kehidupan
kami disini, lagipula bukan keputusan yang bijak jika harus tergiur jabatan
baru padahal pengalaman saja belum seberapa. Selesai!
Untuk mencairkan rasa tidak enak
hati pada beliau, saya bilang pada beliau, “Pak, nanti kalau sekolahnya ada di
Jakarta, kabari saya ya, insyaAllah saya pasti bersedia”.
Satu bulan berlalu, saya di
tawarkan projek bisnis online oleh atasan suami, Pak Wino namanya. Beliau bersedia
stocking barang asal saya tekun menjalaninya. Ide ini dengan serius kami bahas
di rumah beliau bersama istrinya, bahkan kami berencana pindah kontrakan ke Tangerang
agar koordinasinya gampang. Tentu saja nggak ada gaji pokok, lagi pula untuk
pak Wino yang sudah sangat banyak membantu kami saat baru di Jakarta, itu bukan
prioritas saya, suami juga mendukung penuh.
Tapi, tiba-tiba pak Parmo
menghubungi kami lagi, meminta kami datang ke rumahnya di Pejaten, Pasar
Minggu. Kami di ajak kerumah anaknya, tidak jauh dari rumahnya. Lalu duduk
disana, membicarakan tujuannya meminta kami datang lagi. Sungguh, saya bergetar,
entah ada rasa takut juga mendengar pekerjaan yang di tawarkan beliau, reaksi saya
kontras dengan suami yang justru semangat. Saya tak banyak bicara, hanya
mesem-mesem nggak jelas. Sepanjang perjalanan pulang, suami terus berceloteh
ria, saya diam masih dengan mulut terkatup, hati saya berkecamuk.
Besoknya lagi kami disuruh
datang ke rumah Pak Parmo pagi-pagi sekali untuk bertemu anaknya, siangan dikit
anaknya berangkat kerja katanya. Kami di paksa ikut sarapan bersama keluarga
besarnya di meja makan. Bayangkan betapa baiknya orang-orang ini, mana tega
saya menolak tawarannya yang lama-lama seperti permohonan. Anaknya datang
bersama dua puteranya yang masih sekolah di PAUD. Pembicaraan serius di buka, “Ini
cucu saya yang saya ceritakan itu” ia mulai bercerita. “saya akan sangat
berterimakasih jika mba Asmi sama mas Dani mau tinggal di rumah anak saya
menemani cucu saya” saya bergetar lagi mendengarnya, teringat lagi apa yang di
ucapkan kemarin. “Nanti mbak Asmi juga saya daftarkan di majelis taklim dekat
sini, atau kalau ada seminar-seminar parenting mbak Asmi harus ikut” saya
tertantang tapi kembali ciut mengingat suasana rumah anaknya itu. wajar sekali
pak Parmo pendiri pondok pesantren Ruhul Jadid khawatir dengan akidah
cucu-cucunya. Anaknya menikah dengan seorang muallaf yang menurut pengamatan
pak Parmo dia masih menganut agama lamanya, Kristen, tak hanya istrinya yang
akan mempengaruhi akidah anaknya tapi juga mertua dan kakak iparnya yang juga
seorang nasrani ikut nimbrung dirumah itu, satu-satunya muslim di rumah itu ya
si suami, anaknya pak Parmo.
“Tolong bantu saya selamatkan
akidah cucu saya” beliau berkata pelan. Ya Allah apakah ini berkah atau sebaliknya,
musibah? Apa yang beliau lihat dari saya? Apa penampilan saya menipunya hingga
sebegitu percayanya pada saya? Biasa saja, saya menggunakan kemeja, rok dan
kerudung yang tidak selebar akhwat Salaf. Apa saya pernah mengucapkan sesuatu
yang membuatnya terkesima? Hmm… Tidak juga, selama perkenalan, saya lebih
banyak mendengarkan, sedikit menanggapi dan lebih banyak diam. Apa karena titel
saya? ah, apalagi, saya ini bukan sarjana tarbiyah, dakwah ataupun filsafat,
saya sarjana administrasi!
“Maaf Pak, itu berat bagi saya,
saya tidak punya track record yang membanggakan dalam mendidik anak, saya hanya
pernah mengajar ngaji, hanya sekedar mengenalkan huruf-huruf hijaiyah, lalu pulang.
Saya sepertinya… “ akhirnya kalimat itu berhasil keluar, meski ujungnya
menggantung.
“Berat dan ringannya itu kita
yang menentukan, iya tho? Katanya dalam logat Jawa yang masih kental.
“Semua proses yang luar biasa,
hasilnya akan luar biasa. Jika prosesnya biasa-biasa saja, hasilnya ya akan
biasa, apalagi jika kita niatkan untuk ibadah juga, membantu menyelamatkan iman
orang lain bukankah bagian dari kwajiban kita? Naa contohnya begini……” Pak Parmo
tetap kekeh, seperti biasa mencontohkan orang-orang terdahulu yang begini dan
begitu. Saya pusing. Lagipula kenapa
tidak orangtuanya yang meminta saya? kenapa harus Bapak? Bagaimana kalau ini
ide bapak seorang? Lalu saya yang rencananya mau memperbaiki akidah ini,
dianggap merusak akidah dan ketentraman rumah tangganya juga oleh anak menantu
Bapak? Belum lagi mertua dan kakak iparnya yang kata Bapak punya misi
mengkristenkan anak cucu bapak? Lalu saya datang dengan misi sebaliknya, apa
itu tidak berarti saya menyulut api peperangan dalam rumah itu. Bapak sama saja
memaksa saya berselancar menaklukan ombak lepas sementara saya belum mahir, ya saya
yang gulung ombak. Pesimis dengan jujur
itu beda kan, Pak? dan ini saya lagi jujur! tentu saja saya berkata dalam
hati. Begitulah, saya kalau sudah segan sama orang mulut seperti terkunci
rapat-rapat. Apalagi pak Parmo baik sekali dan beliau sedang meminta bantuan.
“Mbak Asmi hanya menemani mereka
mengulang pelajaran di sekolah, menjadi teladan bagi mereka, mengajaknya membaca Al-quran setiap magrib,
agar akidahnya selamat. Nanti saya akan
support untuk pendidikan S2 mu” Suami saya semakin sumringah, saya kacau. Betapa
beratnya kalimat “menyelamatkan akidah” ini saya dengar. Dan satu lagi, saya
tidak suka iming-iming, janji-janji. Saya bahkan sudah sampai taraf benci.

Sepanjang perjalanan pulang saya
terdiam seperti kemarin, suami juga tak banyak bicara, tubuhku terguncang, dadaku berdegup kencang, akhirnya airmata saya tergelicir perlahan, saya menangis,
menangis untuk alasan yang tidak bisa saya jelaskan.
Ya Allah…
Trus gimana keputusannya, Mbak Myori? Kalo jadi kayaknya itu sebuah tanggungjawab yang agak berat ya.. :)
BalasHapusMasih bingung Bang Zuki, kata ortu sih jangan... saran dong.. :(
BalasHapus