Senin, 23 November 2015

Kenapa Ingin Punya Anak?



                                    
Siapa yang tak mau punya anak? Aku selalu membatin setiap pertanyaan-pertanyaan itu dilontarkan, “kapan punya anak?”, “Kok belum punya anak?”, “Belum mau punya anak ya?”,”Kok belum hamil juga?” pertanyaan itu ku dengar sinis meski intonasinya biasa saja. Mereka tidak pernah mengerti betapa telinga ini sangat bosan dengan pertanyaan semacam itu. Mereka juga tidak mengerti betapa telinga ini rindu sekali dengan tangisan bayi, teriakan anak-anak yang memanggil mama. Pun tangan ini begitu rindu dekap tubuh mungil dalam balutan selimut kecil, wangi bayi yang semerbak di setiap sudut rumah. Betapa aku ingin, ingin sekali memiliki buah hati. Sebuah harapan yang tidak pernah bosan ku minta pada Rabbku.

Hingga akhirnya keinginan yang menggebu-gebu ini membawaku pada sebuah pertanyaan “Kenapa aku ingin memiliki anak?” Apakah keinginan ini keluar hanya karena rasa serakah dan egois seorang manusia yang ingin memiliki apa yang belum dimiliki? Atau karena aku mulai sensitif mendengar pertanyaan "Kapan punya anak?” dan pertanyaan sejenisnya? Atau sekedar kecemburuan saja jika melihat teman-teman yang sudah mulai memiliki satu, dua, tiga.... momongan? Aku menundukkan kepala, pening, belum bisa menjawab pertanyaanku sendiri.

Suatu hari, aku menonton acara televisi yang menampilkan penghafal Al-Qur’an berusia 5,5 tahun. Dalam tayangan tersebut, orangtua dari hafidz cilik tersebut mengungkapkan bagaimana cara mendidik anaknya hingga menjadi anak yang soleh, “Berusaha meniru Tarbiyah Nabawi lith-Thif atau cara nabi mendidik anak”. Tuturnya.

Selesai menonton acara tersebut, aku tersadar bahwa bagi beberapa orang memiliki anak itu mungkin mudah tapi mendidiknya agar selalu terjaga dalam fitrahnya (Islam) tentu tidak mudah jika kita sebagai orangtua tidak belajar.

Aku mengubah pola pikir, dari berorientasi ingin segera memilki anak, menjadi  harus memilki kesadaran untuk mempersiapkan diri agar dapat menjadi Ibu yang kelak dapat mengemban amanah berharga dari Allah swt berupa anak-anak, aku ingin menjaga kelangsungan keturunan dengan melahirkan generasi-generasi muslim, yang akan bersama-sama berjuang mengagungkan nama Allah swt di muka bumi ini, Sebagai umat Rasulullah saw, aku ingin menggembirakan beliau dengan memperbanyak jumlah umatnya, InsyaAllah.

Selain itu, aku yakin dari lubuk hati terdalam, meski tidak diungkapkan, seorang suami pasti merindukan juga kehadiran buah hati. Kehadiran anak akan membawa ketenangan  kita sebagai orangtua ketika kelak akan beranjak meninggalkan dunia ini, sebab kita sudah memilki anak soleh/solehah yang akan selalu mendoakan kita. InsyaAllah…

Minggu, 22 November 2015

Mendidik Anak Generasi Cyber

Dalam teori generasi, anak yang lahir tahun 1995 keatas dikenal dengan generasi Z atau Generasi Cyber atau Generasi Internet. 

Generasi Cyber dipastikan akrab dengan berbagai teknologi dan media sosial, yang secara langsung atau pun tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan perilaku dan kepribadiannya.
Namun, sebagai orangtua kita perlu menyadari dan hendaknya tetap mau belajar, setiap perubahan, sekalipun membawa kemajuan, juga akan mempunyai dampak negatif. Mungkin kita bangga bahwa dibanding kita dulu, anak-anak kita sekarang lebih mahir dan gandrung terhadap perkembangan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer.  Mereka dapat mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan cepat, baik untuk kepentingan pendidikan maupun kesehariannya. 

Kebebasan anak berekspresi dan mengungkapkan perasaannya secara spontan sangat didukung dengan adanya media sosial. Begitu banyak kasus anak remaja yang menggunakan akun media social mereka untuk mengumpat orangtuanya. (Jika anda searching menggunakan kata kunci “nyokap bang*at” Anda akan menemuka puluhan tweet berisi umpatan anak untuk orangtua). Apa sebab? Pihak anak tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena banyak ibu yang melupakan kelekatan kasih sayang untuk anak-anaknya.
Tantangan membesarkan anak di era informasi ini sebetulnya sangat mengerikkan, jika kita tidak berusaha mengantisipasinya sedini mungkin karena tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua. Cara mendidik anak kebanyakan kita ambil dari bagaimana cara orangtua kita mendidik kita dulu. Tapi itu saja tidak cukup karena anak kita tidak lahir di zaman kita apalagi jaman kakek neneknya dulu. Jika orangtua zaman dulu membesarkan anak cukup dengan memberi makan walaupun setelah itu dimarah-marahi - anak tetap akan menjadi baik, tidak akan bertingkah macam-macam.
Lalu bagaimana seharusnya para orangtua menghadapi anak Generasi Cyber agar menjadi seperti yang kita harapkan?

>>  Jadilah Ibu Yang Dirindukan
Kata Rasulullah, nikahilah wanita yang memilki sifat wadud (kasih sayang) dan subur (bisa melahirkan) tapi kenyataannya banyak ibu yang bisa melahitkan tapi kurang memilki sifat kasih sayang.
Sifat kasih sayang seorang ibu mulai ditunjukkan ketika anak menyusui oleh karena itu jangan cepat-cepat disapih karena anak akan merasakan kenyamanan, kasih sayang, cinta kasih dan dekapan rasa aman saat di susui. Makanya ketika anak masih bayi, tidak ada istilah bau tangan, anak butuh segera digendong, karena dia butuh rasa aman dan cinta, kalau dibiarkan lama-lama, dia akan menjadi anak yang memikirkan diri sendiri, tidak memahami perasaan orang lain. 

Fungsi ibu memberikan rasa aman, sedang ayah, menegakkan aturan, ketika ibu sebagai ratu dirumah tidak lagi dirindukan, anak akan betah lama-lama diluar.
Lalu bagaimana menjadi ibu yang dirindukan di era digital dimana anak lebih betah bermain bersama gadget? Menurut Ustadz Bendri Jaisyurrahman, ibu seharusnya…

1. Bisa memasak
Memang, dalam kita fiqih manapun, tidak dijelaskan tugas utama ibu memasak, karena kita membangun rumah tangga, bukan rumah makan tapi seorang ibu harus bisa memasak, agar anak kangen dengan masakan ibu.

2. Bisa memijit
Anak sampai usia berapapun butuh dipeluk dan disentuh tapi anak yang sudah beranajak remaja mungkin sudah tidak nyaman dipeluk seperti ketika dia masih anak-anak, maka memijit adalah alternatif agar orangtua tetap dapat menyentuh sang anak.
Memijit di bagian punggung, telapak tangan dan perut akan membuat ikatan batin anak dan ibu tetap terjalin mesra sehingga anak terbiasa lancar menceritakan apapun pada ibunya. Makanya profesi tukang pijit tidak bisa diremehkan, selain menjadi tukang pijit, dia juga pasti mengetahui banyak cerita maupun rahasia orang yang dipijitnya.

3. Lebih Banyak Mendengar
Sudah menjadi kebiasaan, ibu akan mengeluarkan ribuan kata perhari (cerewet) kecuali sakit, adakalanya seorang ibu mampu mengerem diri untuk bicara banyak dan lebih banyak mendengarkan.
Misalnya seorang anak remaja yang tiba-tiba bercerita pada ibunya, “ibu, di sekolah ada yang naksir sama aku, lho” mendengar ini sang ibu tentu ingin nyerocos memberi nasihat, “ehh kamu jangan macam-macam ya, ibu kan udah bilang, naksir-naksiran begitu ga boleh, ga baik, awas ya!”. Berusahalah untuk tenang dan mendengarkan terlebih dahulu, ambil hatinya baru kemudian dinasihati pelan-pelan.