Sabtu, 13 Februari 2016

Maafkan aku suamiku



09-01-16
Suamiku, aku tidak tau apa aku harus bahagia atau sedih menantikan kelahiran anak pertama kita. Aku tau seharusnya aku bahagia karena kehamilanku sudah kita tunggu setahun lamanya, bahkan setelah dibumbui keguguran waktu itu.
Sayang, ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan kenapa semua ini terasa berat. Entah kenapa aku sudah terlalu sering merenggut kebahagiaanmu. Aku malu dan merasa banyak berhutang budi padamu. Seringkali kamu mengalah untuk kebahagiaanku.

Pertama, sejak lulus kuliah, kamu rela meninggalkan kampung halaman selama 1 tahun untuk mencari biaya menikahiku padahal aku tau, sejak dulu sebenarnya setelah lulus kamu ingin mengajar di sekolah, menyapaikan ilmu yang kamu dapat selama di bangku kuliah.
Kedua, setelah kita menikah, melalui proses pencarian kerja yang panjang, akhirnya kamu bisa meraih mimpimu yang tertunda, yaitu mengajar. Sebuah sekolah bernama MA-ALHIKAM memberikan sejarah baru untuk sukacitamu itu. kamu sangat menikmati peranmu sebagai seorang guru, meski digaji 100 ribu pertigabulan. Aku tau kamu belajar siang malam agar bisa memberikan yang terbaik pada anak didikmu. Aku bahkan baru kali ini melihatmu begitu bersahabat dengan buku, tak kenal tempat dan waktu. Saat kita mengunjungi orangtuaku, ranselmu akan terisi penuh dengan buku-buku tebalmu. Aku merasakan betapa kamu sangat menjiwai peranmu sebagai seorang pendidik.

Tapi suamiku, maafkan aku karena aku telah merenggut semua itu. aku diselimuti kebosanan  dan keinginan untuk melanjutkan kuliah lagi, aku tau berat buatmu untuk mengabulkan permintaanku, karena itu artinya kamu harus melepaskan AL-HIKAM.

Tiba, di Jakarta, kenyataan tak seindah bayangan, kita harus mencari kerja untuk bertahan ditengah kerasnya ibu kota. Hampir semua jenis kendaraan pernah kita coba, setiap hari kita keliling mencari kerja, tak mengenal takut meski baru 2 hari hidup di Jakarta. Terkadang kita harus berpencar dan menyusuri ibukota sendiri-sendiri dengan harapan salah satu diantara kita bisa secepatnya mendapatkan tumpuan hidup. sempat putus asa ingin pulang saja tapi akhirnya doa-doa kita dijawab oleh Allah, setlah hampir 2 bulan naik turun angkot-metromini, kita mendapatkan pekerjaan.

Pekerjaan ideal dengan gaji ideal yang kamu jalani hingga saat ini, menjelang 10 bulan. Kamu sangat mencintai pekerjaanmu ini, rekan kerja, sahabat dan pelanggan setia kamu dpatkan disini. Aku merasa dilimpahi keberkahan dan kemudahan.


10 bulannya kamu bekerja, itu berarti kandunganku akan menginjak usia 5 bulan. Itu berarti aku akan pulang untuk melahirkan, tak ada sanak saudara yang bisa diandalkan disini untuk membantuku melahirkan anak pertama kita. Aku sedih, sangat sedih dan merasa bersalah karena kita akan pulang lagi meninggalkan kepastian dan kemudahan yang kita dapatkan disini. Kembali lagi aku akan memisahkanmu dari apa yang kamu senangi, sahabat-sahabatmu, pasien-pasienmu dan pekerjaanmu. Maafkan aku sayang.



Menghadapi Uang

Aku memuji bagaimana orangtuaku dan keluarga dr pihak ibuku mengajarkan bagaimana aku menghadapi uang. Dan alhamdulillah aku tidak pernah sampai kelaparan atau merasa sangat miskin, meski kami (aku dan adik2ku) tidak bisa menikmati blackberry saat lagi booming, tidak bisa membeli pakaian di mall, tidak bisa mengikuti segala yang lagi trend, berpikir 10 kali membeli durian saat lagi mahal2nya tapi itu semua tidak membuat hidup kami berantakan. Sebenarnya hal2 sepele seperti itu yang membuat banyak orang merasa hidupnya amat miskin dan kekurangan, hingga lupa bersyukur apalagi untuk berbagi.

Aku bersyukur sekali adikku #Keyong tumbuh menjadi pria yang tidak pernah mendewakan uang, sebagai kakak, aku sering merasa dibuat seperti adik karena lebih sering diberinya uang. Karena dia ngga pernah menolak jika sewaktu2 aku minta, aku merasa segan. Begitupun sebaliknya. Saat punya uang (gajian, ada proyek), ibu adalah orang pertama yang akan diberikannya tanpa dikurangi.

Kadang2 suasana keluarga yag tidak pernah ada masalah soal uang, tidak ada istilah pelit atau prhitungan dalam keluarga membuatku begitu heran dengan keluarga yang pelit dan perhitungannya bikin mual2 tapi juga sekaligus menyadarkan betapa beruntungnya aku dibesarkan dengan keluarga yang tidak kaya tapi tidak menjadikan uang segalanya.

Semoga aku semakin bisa melihat keberagaman tapi tetap pada identitas diri. Mulai mampu menahan mual saat anyone who has been my family tetap setia menjadi peminta2 dan selalu merasa dirinya kekurangan agar dapat uluran bantuan.

Jadikanlah kami orang2 yang selalu bersyukur. Aamiin