Umurku berbeda
3 tahun dari kakak perempuanku, tapi sepertinya orang-orang lebih sepakat kalau
aku ini lebih tua , tinggiku berbeda 13 cm dengan kakak, begitupun berat badan,
otot-ototku sudah terbentuk sebelum saya 17 tahun sementara dia masih sekecil
wortel. Aku bangga, orangtua kami mendidik kami dengan sangat baik, jangan
berantem dan menghormati kakak adalah salah satu hasil didikannya, begitupun
sebaliknya kakak sangat menyayangiku, jarang sekali kami bertengkar, apalagi
untuk urusan berebut sesuatu. Pernah waktu itu aku ingin sekali beli ganti velg
motorku dengan yang lagi trend, ibu melarang, karena memang malas mengeluarkan
budget untuk urusan yang tidak-tidak, tapi kakak, rela memberikan separuh jatah
bulanannya untukku,tak di bagi saja bagiku uang bulanan kakak tak cukup, entah
bagaimana caranya perempuan berkerudung lebar ini bisa mengirit. aku menolak,
tapi seperti biasa kakak memaksa, menjejalkan itu di saku celanaku dengan
sedikit marah-marah, “alaah.. jangan pura-pura nolak, padahal maunya lebih”. Atau
ketika aku ketahuan bawa hape di sekolah, kakak yang kebetulan baru pulang
liburan ku bisiki agar bersedia ke sekolah besok, ngambil hapeku yang di sita,
kakak nggak marah-marah tapi besoknya kakak menimpukku pake hape yang berhasil
di ambil dari guru. Dan yang paling kuingat,13 tahun lalau, saat aku berumur 7
tahun, aku hilang di keramaian waktu pasar malam,benar-benar hilang, ayah dan
ibu mencariku disetiap arena permainan,mereka berteriak-teriak sampai serak. Dilain
tempat aku menangis, mencari ayah dan ibu, tak ada MC yang bisa diminta
mengumumkan namaku, pun mikrofon hanya dimiliki tukang obat yang lagi ‘of air’,
kakak memohon tukang obat meminjamkan mikrofonnya, meski dengan syarat jarinya
harus disayat agar darahnya keluar, untuk membuktikan pada penonton bahwa
obatnya memang ampuh dapat menyembuhkan luka. Kakak setuju tanpa piker panjang.
Dengan mikrofon di tangan, kakak naik ke atas rona-rona, membaca ayat kursi
dengan penuh keyakinana bahwa jika aku di sembunyikan jin, jinnya akan menyerah
dengan mendengar suara lirih ayat kursi-nya kakak, kakak memanggil-manggil
namaku, aksinya menarilk perhatian semua pengunjung pasar malam, tak ada
sahutan, kakak mengaji lagi,memanggil lagi, mengaji lagi begitu terus sampai
aku datang memanggil kakak di bawah rona-rona. kami menangis berpelukan seperti
sudah terpisah puluhan tahun.
***
Ketika lulus
SMP, itu berarti sama dengan kakak baru lulus SMA. Dari jauh-jauh hari ibu dan
ayah sudah bingung memikirkan biayaku yang masuk SMA dan kakak yang akan masuk
kuliah, ayah yang pekerja serabutan belum mampu memecahkan masalah tersebut. Disitulah
perdebatan cukup alot terjadi antara aku dan kakak.
“aku sampai
sini aja sekolahnya , SMA udah cukup kok, bu”
“nggak, aku
nggak mau sekolah, aku sampai SMP saja, males”
“eh
apa-apaan, kamu itu laki-laki, masa pendidikan Cuma sampai SMP, jangan
macem-macem, pokoknya kamu harus ngelanjutin, kamu harus masuk SMK, ambil
jurusan otomotif, kakak tau banget kamu bakat disitu”
Aku tercenung,
ada perasaan haru disitu. aku memang suka otomotif, tapi jujur aku bosan dengan
suasana sekolah, duduk dalam kelas, mendengarkan ceramah guru, membuatku sering ngantuk dan pusing yang berujung mual. Aku
teringat diary kakak yang pertama kali kubaca tak sengaja, lalu selanjutnya
menjadi bacaan saya yang disengaja. Disitu ytertulis, harapan dan mimpi-mimpi
kakak, keinginananya mengangkat derjat keluarga dengan menjadi orang
berprestasi. Keinginan kakak yang besar ingin menjadi seorang guru. Ku baca
juga rasa cintanya yang sering diulang-ulang pada kami-adik-adiknya. Kakak harus
lanjut kuliah!
“aahh pokoknya
aku ga mau sekolah, kakak saja yang kuliah” tegasku.
Kakak melotot
ke arahku, bersiap mencermahiku panjang lebar,bahwa aku akan jadi kepala
keluarga, aku nanti akan jadi tumpuan anak istri, aku akan bla bla bla…
“kakak faham
sekali dengan dunia pendidikan, aku yakin itu akan jadi motivasi buat kakak. Kakak
dari dulu juara kelas, ikut lomba sana sini, juara lomba ini itu, kakak lebih pantas
diperjuangkan untuk sekolah. Aku bisa otomotif secara otodidak, atau aku janji nanti
aku akan kursus untuk itu. kalau di paksakan nanti aku bisa bolos setiap hari”
kataku lantas meninggalkan ruangan yang senyap mendengarkan ocehanku dalam
tempo sangat lambat, ayah ibu yang dari tadi diam akhirnya angkat bicara, ku
dengar dari kejauhan, ayah sepakat dengan pendapatku, kakak yang lanjut kuliah
dan aku cukup sampai disini. Aku kembali ke tempat, tersenyum puas penuh
kemenangan, kulihat genangan air di mata kakak. Kakak menangis menepuk-nepuk
bahuku.
Kakak berangkat
ke kota, merantau lagi untuk sebuah pendidikan, dan aku berjuang ke tanah Sumatera
mencari nafkah, aku sudah besar meski umurku belum 17 tahun. Ibu dan ayah
sempat melarang tapi kakak harus bisa menyelesaikan pendidikannya, aku harus
bantu ayah untuk pendidikan kakak!
***
“Kakak lulus
cumlaude dik” kata kakak sumringah terdengar dari telepon, konon cumlaude itu
sebutan untuk yang nilainya tinggi, entah berapa, mungkin 9. Hari ini kakak
wisuda, kakak berteriak-teriak memintaku pulang 2 bulan sebelumnya tapi aku tak
bisa karena keberadaanku semakin jauh saja, sekarang aku berada di Singapura,
menjadi TKI di Negara singa ini, lebih tepatnya sebagai kuli bangunan, aku
bahagia kakak menjadi sarjana. 3 bulan kemudian kakak dapat pengumuman, ia dapat beasiswa melanjutkan S2 di Inggris. Ah,
apa kubilang, kakak memang hebat!
“aku sedang
menyelesaikan atap gedung, badanku terpanggang matahari, tapi saat ini angin
sepoi-sepoi menyusup masuk, aku merasakn semilir. Alhamdulillah kakak ku
sekarang menjadi mahasiswa di Inggris” tulisku di akun facebook-ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar