Dear God…
Izinkan aku jujur padamMu tentang
suatu hal yang ganjil dalam diriku. Konyol, bukankah Engkau Maha Mendengar,
lantas kenapa aku harus minta izin?
Baiklah, untukMu yang tengah menyaksikan
hamba-hambaMu…
Aku baru kali ini berani menyapaMu
seperti menyapa makhluk ciptaanMu, ku harap Kau tak tersinggung. Ah, kata “ku harap Kau tak tersinggung” ini
juga sebetulnya sungkan untuk ku ucapkan.
Allah, bolehkan aku
menganggapMu sedang berada di depan
hidungku? Agar aku bebas bercerita, berkeluh kesah seperti rasanya Engkau
benar-benar hadir disini. Astaghfirullah,
maafkan aku ya Allah, jika kalimat “seperti Engkau benar-benar hadir disini”
menarik kesimpulan bahwa aku selama ragu bahwa Engkau selalu dekat dengan
hambamu…
Allah, beberapa tahun lalu, ketika
aku kelas 2 madrasah aliyah, rasanya damai sekali hidup ini, tenang tak
bergelombang, aku yakin itu karena aku dan Engkau serasa tak berjarak, sangat
dekat. Tahajjud, dhuha tak pernah aku tinggalkan, setiap hari, setiap malam
dalam solat dan doaku, aku larut, tersungkur, luruh, rindu, merayu, aku jatuh
cinta, jatuh cinta pada ibadahku, jatuh cinta padaMu. Padahal saat itu, aku tak
punya banyak alasan untuk melakukan ritual-ritual di luar kwajiban yang telah
Engaku tetapkan, tapi bagiku, melakukan lebih dari yang seharusnya adalah suatu
kebanggan buat pecinta sepertiku.
Semua aman terkendali hingga aku
masuk kuliyah, ku temukan ilmu untuk amalan-amalanku, aku berkenalan dengan
Siti Fatimah, putrid Rasulullah yang dalam dirinya bercahaya surga, aku iri. Lalu
ku ikuti setiap perbuatannya. Aku semakin jatuh cinta. Jatuh cinta pada Islam. Semua
doaku terkabul, semua harapanku di ijabah, tak pernah ku berontak jika doa dan
harapanku belum Kau jawab, serta merta keyakinan dari nabi Musa mengingatkanku.
Aku bersabar dalam keyakinan dan kekuatan doa.
Menikahlah aku dengan laki-laki yang
sering ku sebut dalam doaku, aku bahagia tak terperi, semakin ku kencangkan
ibadahku bersama sang belahan jiwa, kami larut, terharu dalam ayatMu. Fabiayyialaairabbikumatukazzibaan…
Sampai akhirnya aku kacau oleh
fikiranku sendiri. Kapan aku bisa memberi untuk orangtuaku? Maafkan aku jika
aku memperlakukanMu seperti matematika, jika 1+1 maka harus dua. Jika aku
begini maka Engkau harusnya begitu. Tapi bayang0bayang masa depan itu seperti
suram… suramm… tak ada harapan… ampuni
aku yang tak bersyukur ini…
Mungkin Jakarta bukan cita-citaku,
tapi pelarianku, pelarian seorang sarjana yang tidak bisa apa-apa, yang seperti
patung dalam singgasananya. Jakarta, aku
tersesat di dalamnya, aku haus akan materi yang tak kunjung ku dapat. Seluruh harapn
dan impian telah ku tumbangkan dengan keputusan cepat, kuliah S2ku tak rampung,
tak tega jika harus lagi-lagi menyusahkan orangtua untuk biayaku. Tak akan…
Aku mundur dari rencanaku, aku
mencari kerja, berminggu-minggu, berbulan-bulan, harapan tinggal harapan. Dhuha
dan tahajjud enggan kulakukan. Solatku seperti kilat yang menyambar-nyambar,
cepat dan singkat tanpa penghayatan. Bacaan Al-quranku berat, seperti orang mau
tak mau. Aku merasa Engkau tak sayang lagi padaku, aku merasa Engkau
menjauhiku, aku merasa Engkau mengikis
cintaku padaMu, benarkah Engkau tak sudi lagi mendengar doaku? Benarkah Tuhan? Jangan jauh dariku, ku mohonn…
Ya Allah kenapa aku mersa Engkau
sedemikian jauhnya hingga ibadahku tak lagi nikmat kurasa? Ya Allah, kembalilah padaku, peluklah aku,
hujamkan seluruh hatiku dengan cinta padaMu, aku ingin merasakan kedamaian itu
lagi, bukan ombak yang terus menggulung-gulungku hingga aku terkapar tak
berdaya. Ya Allah, dengarkan aku, ku mohon… kembalilah. Bukan Dia yang harus kembali, tapi aku…
Tak apa, aku miskin, tak apa aku
pengangguran, jika Engaku selalu terasa ada, aku yakin akan baik-baik saja… Ya
Allah Sang Maha pengasih… penuhi rongga dadaku dengan cintaMu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar