Sabtu, 30 Mei 2015

Untuk Allah SWT…



To: Allah SWT

Dear God…
Izinkan aku jujur padamMu tentang suatu hal yang ganjil dalam diriku. Konyol, bukankah Engkau Maha Mendengar, lantas kenapa aku harus minta izin?
Baiklah, untukMu yang tengah menyaksikan hamba-hambaMu…
Aku baru kali ini berani menyapaMu seperti menyapa makhluk ciptaanMu, ku harap Kau tak tersinggung. Ah, kata “ku harap Kau tak tersinggung” ini juga sebetulnya sungkan untuk ku ucapkan.
Allah, bolehkan aku menganggapMu  sedang berada di depan hidungku? Agar aku bebas bercerita, berkeluh kesah seperti rasanya Engkau benar-benar hadir disini. Astaghfirullah, maafkan aku ya Allah, jika kalimat “seperti Engkau benar-benar hadir disini” menarik kesimpulan bahwa aku selama ragu bahwa Engkau selalu dekat dengan hambamu…
Allah, beberapa tahun lalu, ketika aku kelas 2 madrasah aliyah, rasanya damai sekali hidup ini, tenang tak bergelombang, aku yakin itu karena aku dan Engkau serasa tak berjarak, sangat dekat. Tahajjud, dhuha tak pernah aku tinggalkan, setiap hari, setiap malam dalam solat dan doaku, aku larut, tersungkur, luruh, rindu, merayu, aku jatuh cinta, jatuh cinta pada ibadahku, jatuh cinta padaMu. Padahal saat itu, aku tak punya banyak alasan untuk melakukan ritual-ritual di luar kwajiban yang telah Engaku tetapkan, tapi bagiku, melakukan lebih dari yang seharusnya adalah suatu kebanggan buat pecinta sepertiku.
Semua aman terkendali hingga aku masuk kuliyah, ku temukan ilmu untuk amalan-amalanku, aku berkenalan dengan Siti Fatimah, putrid Rasulullah yang dalam dirinya bercahaya surga, aku iri. Lalu ku ikuti setiap perbuatannya. Aku semakin jatuh cinta. Jatuh cinta pada Islam. Semua doaku terkabul, semua harapanku di ijabah, tak pernah ku berontak jika doa dan harapanku belum Kau jawab, serta merta keyakinan dari nabi Musa mengingatkanku. Aku bersabar dalam keyakinan dan kekuatan doa.
Menikahlah aku dengan laki-laki yang sering ku sebut dalam doaku, aku bahagia tak terperi, semakin ku kencangkan ibadahku bersama sang belahan jiwa, kami larut, terharu dalam ayatMu. Fabiayyialaairabbikumatukazzibaan…

Sampai akhirnya aku kacau oleh fikiranku sendiri. Kapan aku bisa memberi untuk orangtuaku? Maafkan aku jika aku memperlakukanMu seperti matematika, jika 1+1 maka harus dua. Jika aku begini maka Engkau harusnya begitu. Tapi bayang0bayang masa depan itu seperti suram… suramm… tak ada harapan… ampuni aku yang tak bersyukur ini…

Mungkin Jakarta bukan cita-citaku, tapi pelarianku, pelarian seorang sarjana yang tidak bisa apa-apa, yang seperti patung dalam singgasananya.  Jakarta, aku tersesat di dalamnya, aku haus akan materi yang tak kunjung ku dapat. Seluruh harapn dan impian telah ku tumbangkan dengan keputusan cepat, kuliah S2ku tak rampung, tak tega jika harus lagi-lagi menyusahkan orangtua untuk biayaku. Tak akan…

Aku mundur dari rencanaku, aku mencari kerja, berminggu-minggu, berbulan-bulan, harapan tinggal harapan. Dhuha dan tahajjud enggan kulakukan. Solatku seperti kilat yang menyambar-nyambar, cepat dan singkat tanpa penghayatan. Bacaan Al-quranku berat, seperti orang mau tak mau. Aku merasa Engkau tak sayang lagi padaku, aku merasa Engkau menjauhiku, aku merasa Engkau  mengikis cintaku padaMu, benarkah Engkau tak sudi lagi mendengar doaku? Benarkah Tuhan? Jangan jauh dariku, ku mohonn…
Ya Allah kenapa aku mersa Engkau sedemikian jauhnya hingga ibadahku tak lagi nikmat kurasa?  Ya Allah, kembalilah padaku, peluklah aku, hujamkan seluruh hatiku dengan cinta padaMu, aku ingin merasakan kedamaian itu lagi, bukan ombak yang terus menggulung-gulungku hingga aku terkapar tak berdaya. Ya Allah, dengarkan aku, ku mohon… kembalilah. Bukan Dia yang harus kembali, tapi aku…
Tak apa, aku miskin, tak apa aku pengangguran, jika Engaku selalu terasa ada, aku yakin akan baik-baik saja… Ya Allah Sang Maha pengasih… penuhi rongga dadaku dengan cintaMu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar