Senin, 01 Juni 2015

Pekerjaan Dari Pak Parmo





Sudah lama nganggur, rasa percaya diri untuk melamar kerja lagi terkikis oleh penolakan, ketidakcocokan karena peraturan jahiliyah yang dibuat atau harapan palsu yang sudah sedemikian seringnya. Hingga datang sebuah tawaran dari Pak Parmo, seorang dosen yang ku kenal lewat surat kabar waktu itu, beliau membuka lowongan guru TK tapi ternyata sekolahnya di Wonogiri, Jawa Tengah, melihat skill suami yang memilki soft skill terapi dengan pengobatan nabawi, beliau semakin tertarik, saya mengajar TK, suami dibukakan rumah terapi, begitu harapnya. Kami di ajak melihat pesantrennya di Wonogiri, tiket pesawat akan di pesan besok dan pemberangkatan lusa. Tak ada yang dirugikan karena jika tak ttertarik pun, sudah ada tiket pesawat balik ke Jakarta, tentu di tanggung beliau juga.  
 Setelah berfikir matang-matang, suami mengambil keputusan untuk tidak mengambil kesempatan itu, bukan karena tidak percaya pada pak Parmo, lagi pula tidak ada alasan tidak memercayai beliau, beberapa kali kami datang ke rumahnya yang megah, dengan garasi luas, empat mobil dan dua motor terparkir disana, foto-foto dengan latar belakang menara Eiffel dan liburan mewah lainnya berderet di meja telepon, saya juga diizinkan memlihat perpustakaannya, melihat diisertasinya, yang terakhir meski tak ada sangkut pautnya dengan kepercayaan tapi cukup menggambarkan beliau memang orang yang baik--kami juga di bekali sop durian setiap mau pulang. Sungguh dimata kami beliau orang hebat. Tapi alasan penolakan suami karena sudah terjebak dalam kenyamanan pekerjaannya disana, bukan karna gaji tapi karena orang-orang di dalamnya adalah keluarga bagi kami yang tengah merantau. Ya, benar-benar keluarga, saya sendiri merasa suami amat di sayang disana, tak terbilang apa yang sudah mereka berikan untuk membantu kehidupan kami disini, lagipula bukan keputusan yang bijak jika harus tergiur jabatan baru padahal pengalaman saja belum seberapa. Selesai!
Untuk mencairkan rasa tidak enak hati pada beliau, saya bilang pada beliau, “Pak, nanti kalau sekolahnya ada di Jakarta, kabari saya ya, insyaAllah saya pasti bersedia”.

Satu bulan berlalu, saya di tawarkan projek bisnis online oleh atasan suami, Pak Wino namanya. Beliau bersedia stocking barang asal saya tekun menjalaninya. Ide ini dengan serius kami bahas di rumah beliau bersama istrinya, bahkan kami berencana pindah kontrakan ke Tangerang agar koordinasinya gampang. Tentu saja nggak ada gaji pokok, lagi pula untuk pak Wino yang sudah sangat banyak membantu kami saat baru di Jakarta, itu bukan prioritas saya, suami juga mendukung penuh.

Tapi, tiba-tiba pak Parmo menghubungi kami lagi, meminta kami datang ke rumahnya di Pejaten, Pasar Minggu. Kami di ajak kerumah anaknya, tidak jauh dari rumahnya. Lalu duduk disana, membicarakan tujuannya meminta kami datang lagi. Sungguh, saya bergetar, entah ada rasa takut juga mendengar pekerjaan yang di tawarkan beliau, reaksi saya kontras dengan suami yang justru semangat. Saya tak banyak bicara, hanya mesem-mesem nggak jelas. Sepanjang perjalanan pulang, suami terus berceloteh ria, saya diam masih dengan mulut terkatup, hati saya berkecamuk.

Besoknya lagi kami disuruh datang ke rumah Pak Parmo pagi-pagi sekali untuk bertemu anaknya, siangan dikit anaknya berangkat kerja katanya. Kami di paksa ikut sarapan bersama keluarga besarnya di meja makan. Bayangkan betapa baiknya orang-orang ini, mana tega saya menolak tawarannya yang lama-lama seperti permohonan. Anaknya datang bersama dua puteranya yang masih sekolah di PAUD. Pembicaraan serius di buka, “Ini cucu saya yang saya ceritakan itu” ia mulai bercerita. “saya akan sangat berterimakasih jika mba Asmi sama mas Dani mau tinggal di rumah anak saya menemani cucu saya” saya bergetar lagi mendengarnya, teringat lagi apa yang di ucapkan kemarin. “Nanti mbak Asmi juga saya daftarkan di majelis taklim dekat sini, atau kalau ada seminar-seminar parenting mbak Asmi harus ikut” saya tertantang tapi kembali ciut mengingat suasana rumah anaknya itu. wajar sekali pak Parmo pendiri pondok pesantren Ruhul Jadid khawatir dengan akidah cucu-cucunya. Anaknya menikah dengan seorang muallaf yang menurut pengamatan pak Parmo dia masih menganut agama lamanya, Kristen, tak hanya istrinya yang akan mempengaruhi akidah anaknya tapi juga mertua dan kakak iparnya yang juga seorang nasrani ikut nimbrung dirumah itu, satu-satunya muslim di rumah itu ya si suami, anaknya pak Parmo.

“Tolong bantu saya selamatkan akidah cucu saya” beliau berkata pelan. Ya Allah apakah ini berkah atau sebaliknya, musibah? Apa yang beliau lihat dari saya? Apa penampilan saya menipunya hingga sebegitu percayanya pada saya? Biasa saja, saya menggunakan kemeja, rok dan kerudung yang tidak selebar akhwat Salaf. Apa saya pernah mengucapkan sesuatu yang membuatnya terkesima? Hmm… Tidak juga, selama perkenalan, saya lebih banyak mendengarkan, sedikit menanggapi dan lebih banyak diam. Apa karena titel saya? ah, apalagi, saya ini bukan sarjana tarbiyah, dakwah ataupun filsafat, saya sarjana administrasi!

“Maaf Pak, itu berat bagi saya, saya tidak punya track record yang membanggakan dalam mendidik anak, saya hanya pernah mengajar ngaji, hanya sekedar mengenalkan huruf-huruf hijaiyah, lalu pulang. Saya sepertinya… “ akhirnya kalimat itu berhasil keluar, meski ujungnya menggantung.
“Berat dan ringannya itu kita yang menentukan, iya tho? Katanya dalam logat Jawa yang masih kental.
“Semua proses yang luar biasa, hasilnya akan luar biasa. Jika prosesnya biasa-biasa saja, hasilnya ya akan biasa, apalagi jika kita niatkan untuk ibadah juga, membantu menyelamatkan iman orang lain bukankah bagian dari kwajiban kita? Naa contohnya begini……” Pak Parmo tetap kekeh, seperti biasa mencontohkan orang-orang terdahulu yang begini dan begitu. Saya pusing. Lagipula kenapa tidak orangtuanya yang meminta saya? kenapa harus Bapak? Bagaimana kalau ini ide bapak seorang? Lalu saya yang rencananya mau memperbaiki akidah ini, dianggap merusak akidah dan ketentraman rumah tangganya juga oleh anak menantu Bapak? Belum lagi mertua dan kakak iparnya yang kata Bapak punya misi mengkristenkan anak cucu bapak? Lalu saya datang dengan misi sebaliknya, apa itu tidak berarti saya menyulut api peperangan dalam rumah itu. Bapak sama saja memaksa saya berselancar menaklukan ombak lepas sementara saya belum mahir, ya saya yang gulung ombak.  Pesimis dengan jujur itu beda kan, Pak? dan ini saya lagi jujur! tentu saja saya berkata dalam hati. Begitulah, saya kalau sudah segan sama orang mulut seperti terkunci rapat-rapat. Apalagi pak Parmo baik sekali dan beliau sedang meminta bantuan.

“Mbak Asmi hanya menemani mereka mengulang pelajaran di sekolah, menjadi teladan bagi mereka,  mengajaknya membaca Al-quran setiap magrib, agar akidahnya selamat.  Nanti saya akan support untuk pendidikan S2 mu” Suami saya semakin sumringah, saya kacau. Betapa beratnya kalimat “menyelamatkan akidah” ini saya dengar. Dan satu lagi, saya tidak suka iming-iming, janji-janji. Saya bahkan sudah sampai taraf benci.
“Saya istikharahkan dulu, Pak..” kata saya mengakhiri pembicaraan, Pak Parmo mengiyakan. Kemudian kami pamit. Sulit sekali berkata tidak…
Sepanjang perjalanan pulang saya terdiam seperti kemarin, suami juga tak banyak bicara, tubuhku terguncang, dadaku berdegup kencang, akhirnya airmata saya tergelicir perlahan, saya menangis, menangis untuk alasan yang tidak bisa saya jelaskan. 
Ya Allah…


2 komentar:

  1. Trus gimana keputusannya, Mbak Myori? Kalo jadi kayaknya itu sebuah tanggungjawab yang agak berat ya.. :)

    BalasHapus
  2. Masih bingung Bang Zuki, kata ortu sih jangan... saran dong.. :(

    BalasHapus